Image

Categories: Uncategorized | Tinggalkan komentar

DAMPAK PEMEKARAN WILAYAH TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

BAB I

PENDAHULUAN

  1. A.    Latar Belakang

Mengiringi dinamika politik yang berkembang sejak awal era reformasi khususnya berkaitan dengan diberlakukannya UU nomor 22 tahun 1999 bermunculan keinginan berbagai daerah untuk memekarkan diri membentuk daerah otonom baru. Untuk itu pemerintah menerbitkan PP nomor 129 tahun 2000 tentang Pemekaran Daerah yang mengatur antara lain tentang instrumen prosedural dan instrument persyaratan pemekaran daerah. Setelah diberlakukannya Undang Undang No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah pemekaran wilayah administrative, pada tahun 2004, pemerintahan provinsi telah bertambah dari 26 menjadi 33 (26,9 %), sedangkan pemerintah kabupaten/kota meningkat 45,2%, dari 303 menjadi 440. Angka-angka tersebut nampaknya akan meningkat terus di tahun-tahun mendatang. Pada saat laporan ini dibuat di awal 2007, usulan pembentukan 114 kabupaten kota serta 21 propinsi baru telah berada di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI).

Fenomena tersebut telah menimbulkan sikap pro dan kontra di berbagai kalangan politisi, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah, dan di antara para pakar. Mereka memperdebatkan manfaat ataupun kerugian yang timbul dari banyaknya wilayah yang dimekarkan. Berbagai pandangan dan opini disampaikan untuk mendukung sikap masing-masing pihak. Ada yang menyatakan bahwa pemekaran telah membuka peluang terjadinya bureaucratic and political rent-seeking, yakni kesempatan untuk memperoleh keuntungan dana, baik dari pemerintah pusat maupun dari penerimaan daerah sendiri. Hal ini menyebabkan terjadinya suatu perekonomian daerah berbiaya tinggi. Lebih jauh lagi timbul pula tuduhan bahwa pemekaran wilayah merupakan bisnis kelompok elit di daerah yang sekedar menginginkan jabatan dan posisi

Di sisi lain, banyak pula argumen yang diajukan untuk mendukung pemekaran, yaitu antara lain adanya kebutuhan untuk mengatasi jauhnya jarak rentang kendali antara pemerintah dan masyarakat, serta memberi kesempatan pada daerah untuk melakukan pemerataan pembangunan. Alasan lainnya adalah diupayakannya pengembangan demokrasi lokal melalui pembagian kekuasaan pada tingkat yang lebih kecil. Terlepas dari masalah pro dan kontra, perangkat hukum dan perundangan yang ada, yaitu Peraturan Pemerintah No. 129/2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah, memang masih dianggap memiliki banyak kekurangan. Hal inilah yang mengakibatkan mudahnya satu proposal pemekaran wilayah pemerintahan diloloskan. Dalam kondisi demikian, timbul pertanyaan apakah kesejahteraan masyarakat dan kualitas pelayanan publik pada akhirnya benar-benar meningkat setelah daerah tersebut dimekarkan?  Permasalahan inilah yang coba di bahas pada bab pemebahasan makalah ini.

  1. B.     Rumusan Masalah

Beberapa hal yang dijadikan rumusan permasalahan dalam makalah ini adalah:

  1. Bagaimanakah perkembangan pemekaran daerah dalam aspek ekonomi, keuangan pemerintah, pelayanan publik dan aparatur pemerintahan?
  2. Apa sajakah masalah-masalah yang terjadi dalam masa pemekaran daerah, khususnya dalam aspek ekonomi, keuangan pemerintah, pelayanan publik dan aparatur pemerintahan serta dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat ?
  1. C.    Tujuan Penulisan

Beberapa tujuan dari penulisan makalah ini adalah :

  1. Mengevaluasi perkembangan pemekaran daerah dalam aspek ekonomi, keuangan pemerintah, pelayanan publik dan aparatur pemerintahan.
  2. Mengidentifikasi masalah-masalah yang terjadi dalam masa pemekaran daerah, khususnya dalam aspek ekonomi, keuangan pemerintah, pelayanan publik dan aparatur pemerintahan serta dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat;

BAB II

DAMPAK PEMEKARAN WILAYAH TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

  1. A.    Perkembangan Pemekaran Daerah Ditinjau Dari Berbagai Aspek  

Pemekaran daerah adalah suatu proses membagi satu daerah administratif (daerah otonom) yang sudah ada menjadi dua atau lebih daerah otonom baru berdasarkan UU RI nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hasil amandemen UU RI nomor 22 tahun 1999. Landasan pelaksanaannya didasarkan pada PP nomor 129 tahun 2000.

Untuk melihat perkembangan suatu daerah pemekaran, diperlukan adanya perbandingan kinerja daerah tersebut sebelum dan sesudah pemekaran. Dari hal ini akan terlihat, apakah terjadi perubahan (kemajuan) yang signifikan pada suatu daerah setelah dimekarkan. Pendekatan semacam ini dapat dianggap kurang tepat bila tidak ada pembanding yang setara. Di samping itu, perbandingan dapat dilakukan antara daerah induk dan DOB sehingga dapat dilihat bagaimana dampak yang terjadi di kedua daerah tersebut setelah pemekaran. Perbandingan juga dilakukan terhadap perkembangan rata-rata daerah kabupaten/kota dalam satu propinsi yang sama. Hal ini dimaksudkan untuk melihat secara umum kondisi daerah DOB, daerah induk. maupun daerah sekitarnya.

Perbandingan perkembangan pemekaran wilayah dapat dilihat pada beberapa aspek yaitu:

a) kinerja perekonomian daerah;

b) kinerja keuangan daerah;

c) kinerja pelayanan publik; serta

d) kinerja aparatur pemerintah daerah.

Keempat aspek tersebut saling terkait satu sama lain. Secara teoritis, pemekaran daerah mendorong lahirnya pemerintahan baru, yang pada gilirannya membutuhkan aparatur untuk menjalankannya. Dalam tugas menjalankan fungsi kepemerintahan, aparatur berwenang untuk mengelola keuangan yang ada, agar dimanfaatkan semaksimal mungkin bagi pelayanan publik serta mendorong perekonomian daerah. Hal ini harus dilakukan melalui belanja aparatur maupun belanja modal. Pada akhirnya hal ini akan kembali kepada siklus keuangan daerah melalui penerimaan pajak dan retribusi, juga kembali ke masyarakat melalui pelayanan publik yang diterimanya.

Aspek-aspek yang sekaligus dijadikan indikator  dalam mencapai perkembangan dari pemekaran  ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

  1. a.      Kinerja Ekonomi Daerah

Fokus kinerja ekonomi digunakan untuk mengukur, apakah setelah pemekaran terjadi perkembangan dalam kondisi perekonomian daerah atau tidak. Indikator yang akan digunakan sebagai ukuran kinerja ekonomi daerah adalah:

    1. Pertumbuhan PDRB Non-migas (ECGI)

Indikator ini mengukur gerak perekonomian daerah yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan dan kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi dihitung dengan menggunakan PDRB harga konstan 2000.

2. PDRB per Kapita (WELFI)

Indikator ini mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah yang bersangkutan.

3. Rasio PDRB Kabupaten Terhadap PDRB Propinsi (ESERI)

Indikator ini melihat seberapa besar tingkat perkembangan ekonomi di satu daerah dibandingkan dengan daerah lain dalam satu wilayah propinsi. Besarnya tingkat perkembangan dikorelasikan dengan perbaikan pada kinerja ekonomi.

4. Angka Kemiskinan (POVEI)

Pembangunan ekonomi seyogyanya mengurangi tingkat kemiskinan yang diukur menggunakan  head-count index, yaitu persentase jumlah orang miskin terhadap total penduduk. Untuk mengetahui secara umum perkembangan ekonomi daerah maka dibuat Indeks Kinerja Ekonomi Daerah (IKE) yang pada prinsipnya adalah rata-rata dari keempat indikator di atas.

b. Kinerja keuangan pemerintah daerah

Keuangan pemerintah daerah tidak saja mencerminkan arah dan pencapaian kebijakan fiskal dalam mendorong pembangunan di daerah secara umum, tetapi juga menggambarkan sejauh mana tugas dan kewajiban yang diembankan pada pemerintah daerah (kabupaten) dalam konteks desentralisasi fiskal itu dilaksanakan. Oleh karena itu, evaluasi kinerja keuangan pemerintah daerah dalam konteks pemekaran daerah ini menggunakan indikator-indikator kinerja keuangan yang tidak saja merefleksikan kinerja keuangan dari sisi keuangan pemerintah daerah secara mikro tetapi juga secara makro, sehingga diperoleh indikator-indikator yang terukur, berimbang dan komprehensif. Indikator-indikator yang dimaksud adalah :

1. Ketergantungan Fiskal (FIDI)

Indikator ini dirumuskan sebagai persentase dari Dana Alokasi Umum (yang sudah dikurangi Belanja Pegawai) dalam Total Pendapatan anggaran daerah.

2. Kapasitas Penciptaan Pendapatan (FGII)

Proporsi PAD tidak dinyatakan dalam total nilai APBD, namun dinyatakan sebagai persentase dari PDRB kabupaten yang bersangkutan. Hal ini diperlukan untuk menunjukkan kinerja pemerintah daerah dalam meningkatkan pendapatan asli daerah berdasarkan kapasitas penciptaan pendapatan (income generation) masing-masing daerah.

3. Proporsi Belanja Modal (FCAPEXI)

Indikator ini menunjukkan arah pengelolaan belanja pemerintah pada manfaat jangka panjang, sehingga memberikan multiplier yang lebih besar terhadap perekonomian. Indikator ini dirumuskan sebagai persentase dari Belanja Modal dalam Total Belanja pada anggaran daerah.

4. Kontribusi Sektor Pemerintah (FCEI)

Indikator ini menunjukkan kontribusi pemerintah dalam menggerakkan perekonomian. Nilainya dinyatakan sebagai persentase Total Belanja Pemerintah dalam PDRB kabupaten yang bersangkutan. Untuk mengetahui secara komprehensif kinerja keuangan pemerintah ini, maka dibuat Indeks.

 

c. Kinerja Pelayanan Publik

Evaluasi kinerja pelayanan publik akan difokuskan kepada pelayanan bidang pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Namun harus diingat bahwa dalam waktu yang relatif singkat (5 tahun setelah pemekaran) bisa jadi belum terlihat perubahan yang berarti dalam capaian (outcome) kinerja pelayanan publik ini.

 

d. Kinerja Aparatur Pemerintah Daerah

Aparatur pemerintah menjadi hal pokok yang dievaluasi, untuk mengetahui seberapa jauh ketersediaan aparatur dapat memenuhi tuntutan pelayanan kepada masyarakat. Semakin banyak jumlah aparatur yang berhubungan langsung dengan pelayanan publik, semakin baik pula ketersediaan pelayanan yang diberikan oleh pemerintah.

  1. B.     Dampak Dari Pemekaran Wilayah Terhadap Kesejahteraan Masyarakat

Beberapa hasil evaluasi terhadap pemekaran daerah menunjukkan bahwa kebanyakan daerah-daerah pemekaran secara umum memang tidak berada dalam kondisi awal yang lebih baik dibandingkan daerah induk atau daerah kontrol. Namun setelah lima tahun dimekarkan, ternyata kondisi daerah otonom baru (DOB) juga secara umum masih tetap berada di bawah kondisi daerah induk dan daerah kontrol.

Pertumbuhan ekonomi daerah otonom baru (DOB) lebih fluktuatif dibandingkan dengan daerah induk yang relatif stabil dan terus meningkat. Memang pertumbuhan ekonomi daerah pemekaran (gabungan DOB dan daerah induk) menjadi lebih tinggi dari daerah-daerah kabupaten lainnya, namun masih lebih rendah dari daerah kontrol. Hal ini berarti, walaupun daerah pemekaran telah melakukan upaya memperbaiki perekonomian, di masa transisi membutuhkan proses, belum semua potensi ekonomi dapat digerakkan.

Sebagai leading sector di daerah DOB, sektor pertanian sangat rentan terhadap gejolak harga, baik harga komoditi maupun hal-hal lain yang secara teknis mempengaruhi nilai tambah sektor pertanian. Oleh karena itu, kemajuan perekonomian DOB sangat tergantung pada usaha pemerintah dan masyarakat dalam menggerakkan sektor tersebut. Porsi perekonomian daerah DOB yang lebih kecil dibandingkan daerah lain dalam perekonomian satu wilayah (propinsi) mengindikasikan, bahwa secara relatif daerah DOB belum memiliki peran dalam pengembangan perekonomian regional.

Beberapa dampak sebagai akibat dari pemekaran daerah antara lain :

  1. 1.      Penduduk miskin lebih terkonsentrasi pada daerah DOB

Meskipun terjadi pengurangan kemiskinan di seluruh daerah, terlihat bahwa pemekaran mendorong pelepasan penduduk miskin dari daerah induk ke DOB. Data menunjukkan bahwa penduduk miskin justru jadi terkonsentrasi di DOB. Dalam konteks yang lebih luas, peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah DOB belum dapat mengejar ketertinggalannya dari daerah induk, meski kesejahteraan DOB telah relatif sama dengan daerah-daerah kabupaten lainnya. Lebih dari itu, indikator pertumbuhan ekonomi telah menunjukkan bahwa daerah pemekaan (daerah baru dan daerah induk) memiliki pertumbuhan yang lebih baik dari rata-rata daerah secara keseluruhan dan daerah kontrol.

Dari sisi ekonomi, penyebab ketertinggalan daerah DOB dari daerah induk maupun daerah lainnya adalah keterbatasan sumber daya alam, juga keterbatasan sumber daya manusia (penduduk miskin cukup banyak), dan belum maksimalnya dukungan pemerintah dalam menggerakkan perekonomian melalui investasi publik. Masalah-masalah yang dihadapi pada aspek ekonomi cukup beragam dan belum kondusif dalam menggerakkan investasi, pola belanja aparatur, dan pembangunan yang belum sepenuhnya mendukung perekonomian lokal karena masalah tempat tinggal aparatur, pemilihan ibukota kabupaten yang belum dapat menciptakan pusat perekonomian di DOB, keterbatasan berbagai infrastruktur penunjang ekonomi maupun penunjang pusat fasilitas pemerintahan.

  1. Kinerja keuangan daerah otonom baru (DOB)

Secara umum kinerja keuangan daerah otonom baru (DOB) lebih rendah dibandingkan daerah induk. Selama lima tahun kinerja keuangan DOB cenderung konstan, sementara kinerja keuangan daerah induk cenderung meningkat. DOB memiliki ketergantungan fiskal yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah induk, dengan kesenjangan yang semakin melebar. Pemekaran juga mendorong ketergantungan yang lebih besar di daerah pemekaran dibandingkan dengan daerah kontrol maupun kabupaten lain pada umumnya.

Optimalisasi sumber-sumber PAD di daerah DOB relatif lebih rendah dibandingkan daerah induk. Sementara itu, jika dibandingkan dengan daerah kontrol maupun rata-rata daerah, optimalisasi PAD di daerah pemekaran relatif lebih rendah walaupun perbedaannya cukup rendah. Dapat dikatakan bahwa sumbersumber ekonomi yang juga menjadi sumber-sumber PAD di daerah kontrol atau kabupaten lainnya pada umumnya sudah dalam kondisi mantap (steady state).

Dalam periode 2001-2005, kinerja keuangan pemerintah DOB mengalami peningkatan, baik dari sisi penurunan dependensi fiskal maupun dari sisi kontribusi ekonomi. Hanya saja peningkatan kinerja tersebut belum dapat dikatakan optimal karena masih tergolong dalam dependensi fiskal yang tinggi dengan kontribusi ekonomi yang relatif rendah. Hal ini terjadi dalam kondisi investasi pemerintah (capital expenditure) DOB yang relatif lebih besar dibandingkan daerah lainnya. Tentunya ini terkait dengan kenyataan bahwa DOB masih berada dalam fase transisi, baik secara kelembagaan, aparatur maupun infrastruktur pemerintahan.

  1. 3.      Kinerja pelayanan public di DOB

Secara umum kinerja pelayanan publik di DOB masih di bawah daerah induk, walaupun kesenjangannya relatif kecil. Kinerja pelayanan publik di DOB plus daerah induk secara umum masih berada di bawah kinerja pelayanan publik di daerah kontrol maupun rata-rata kabupaten. Selama lima tahun terakhir, di semua kategori daerah terlihat kinerja pelayanan publik yang cenderung menurun. Masalah yang dihadapi dalam pelayanan publik ialah :

  1. tidak efektifnya penggunaan dana, terkait dengan kebutuhan dana yang tidak seimbang dengan dengan luas wilayah dan jumlah penduduk yang relatif sama,
  2. ketersediaan tenaga pelayanan pada masyarakat karena perkembangan ekonomi dan fasilitas yang terbatas, dan
  3. masih terbatasnya pemanfaatan layanan publik publik yang diberikan.
  1. 4.      Kinerja aparatur di daerah DOB

Kinerja aparatur secara keseluruhan menunjukkan fluktuasi di DOB dan daerah induk, meskipun dalam dua tahun terakhir posisi daerah induk masih lebih baik daripada daerah DOB. Jumlah aparatur cenderung meningkat selama lima tahun pemekaran. Kualitas aparatur di DOB masih sangat rendah, meskipun data menunjukkan adanya peningkatan persentase aparat dengan pendidikan minimal sarjana. Daerah DOB belum menunjukkan kinerja sesuai dengan yang diharapkan, karena pada masa transisi tidak ada desain penempatan aparatur yang benar-benar baik. Di samping itu, pembatasan jumlah aparatur yang formasinya ditentukan oleh pusat juga ikut menentukan ketersediaan aparatur.

Masalah-masalah yang ditemui pada pengelolaan aparatur di antaranya: adanya ketidaksesuaian antara aparatur yang dibutuhkan dengan ketersediaan aparatur yang ada, kualitas aparatur yang rendah, aparatur daerah bekerja dalam kondisi underemployment, yakni bekerja di bawah standar waktu yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

 

  1. C.    Beberapa Contoh  Kasus Yang Mendukung Pembahasan Permasalahan Pro Dan Kontra Akibat Dampak Pemekaran Daerah16 FEBRUARI 2009majalah TEMPO

    Bambang P.S. Brodjonegoro:
    Pemekaran Wilayah Harus Dihentikan
    .

    GEBU tuntutan pemekaran wilayah berakhir tragis di Sumatera Utara. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Abdul Aziz Angkat, tewas akibat aksi anar-kis yang menginginkan terbentuknya Provinsi Tapanuli. Setelah kematian Abdul Aziz, banyak pihak mulai berpikir ulang: sungguhkah pemekaran wilayah bermanfaat?

    Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Prof Dr Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro, PhD, termasuk yang berpendapat bahwa pemekaran wilayah lebih banyak membawa mudarat. Survei yang dilakukan United Nations Development Programme dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional juga menunjukkan daerah baru hasil pemekaran justru sulit berkembang. Jika kecenderungan ini tak dihentikan, pelayanan masyarakat malah mengalami kemunduran.

    Pada Rabu malam pekan lalu, Nugroho Dewanto, Arif Kuswardono, dan Harun Mahbub dari Tempo berbincang dengan Bambang di rumahnya yang asri di kawasan Jatipadang, Jakarta Selatan. Pria yang pada April mendatang memangku posisi Direktur Riset Bank Pembangunan Islam itu tak hanya menyerukan agar pemekaran wilayah dihentikan; ia juga menyarankan penggabungan daerah, agar ekonomi lebih berkembang

 Analisa kasus

Pada dasarnya, pemekaran daerah di Indonesia di bentuk dengan tujuan meningkatkan pelayanan untuk masyrakat. Dengan adanya pemekaran daerah di harapakan setiap kebutuhan masyarakat yang harus di penuhi oleh pemerintah dapat di identifikasi dan terkoordinir dengan baik sesuai dengan potensi masing-masing. Namun jika dilihat dari konsepnya, peran pemerintah daerah adalah memberikan pelayanan masyarakat, karena dia merupakan unit yang terdekat dengan masyarakat kesalahan bukan terletak dari kebijakan yang ada, namun lebih kepada kinerja para aparatur yang tidak melaksnakan tugasnya sesuai dengan ketentuan.

Melihat dari contoh kasus diatas, Fenomena tersebut telah menimbulkan sikap pro dan kontra di berbagai kalangan politisi, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah, dan di antara para pakar. Mereka memperdebatkan manfaat ataupun kerugian yang timbul dari banyaknya wilayah yang dimekarkan. Berbagai pandangan dan opini disampaikan untuk mendukung sikap masing-masing pihak. Ada yang menyatakan bahwa pemekaran telah membuka peluang terjadinya bureaucratic and political rent-seeking, yakni kesempatan untuk memperoleh keuntungan dana, baik dari pemerintah pusat maupun dari penerimaan daerah sendiri. Hal ini menyebabkan terjadinya suatu perekonomian daerah berbiaya tinggi. Lebih jauh lagi timbul pula tuduhan bahwa pemekaran wilayah merupakan bisnis kelompok elit di daerah yang sekedar menginginkan jabatan dan posisi

Bila melihat sejarah Sumatera Utara, dari zaman Pak Harto sampai sekarang, mayoritas gubernurnya bukan Batak yang beragama Kristen. Kebanyakan Melayu atau Batak muslim. Nah, orang-orang Batak Kristen merasa disingkirkan. Dalam konteks pembangunan wilayah, kita lihat di Sumatera Utara yang berkembang hanya daerah pantai timur. Wilayah pantai barat tertinggal.

Pemerintah kadang berpikir, kalau mereka tidak setuju, nanti DPR akan membalas. Karena itu pemerintah tidak mau repot, tidak mau menghalangi DPR. Makanya pengusul pemekaran daerah mati-matian melobi DPR. Bila lewat pemerintah, jalannya cukup panjang. Ada kemungkinan tidak lolos di tingkat Departemen Dalam Negeri atau Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah. Tapi, kalau lewat DPR, pasti lolos karena langsung masuk RUU, dan pemerintah dalam posisi tidak gampang untuk mengatakan tidak.

Beberapa dampak dari pemekaran wilayah berdasrkan contoh kasus di atas adalah :

  1. a.      hasil pemekaran justru korupsi makin berbiak

Korupsi itu tanda kualitas pelayanan publik buruk. Data pertumbuhan ekonomi daerah hasil pemekaran dengan data di kementerian daerah tertinggal menunjukkan cukup banyak daerah baru langsung masuk kategori daerah tertinggal. Mungkin kita ingat kelaparan di Yahukimo, Papua. Yahukimo adalah hasil pemekaran daerah. Jadi, ketika pemekaran dilakukan, malah muncul kelaparan. Ini berarti layanan publiknya tidak jalan.

  1. b.      Kinerja aparatur yang tidak baik

Mereka belum siap, dan anggaran terbatas. Dana alokasi umum kan dibagikan ke semua kabupaten? Ketika ada pemekaran, dana itu diambilkan dari daerah induk, berkurang masuk ke daerah pemekaran. Karena banyak daerah baru, uang yang diterima per daerah makin kecil. Padahal, daerah punya ongkos tetap yang tidak bisa diapa-apakan. Misalnya, gaji pegawai yang terus bertambah, membangun sarana dan sistem pemerintahan. Uang yang tersisa untuk layan-an publik pun makin kecil. Wajar kalau kualitas layanan menurun karena uang operasional tak banyak lagi.

Mungkin kedua hal tersebut yang membuat mencuatnya permasalahan pro dan kontranya masalah pemekaran daerah

BAB III

PENUTUPAN

 

  1. a.         Kesimpulan

Banyak terjadinya pro dan kontra dari pemekran daerah setelah masyrakat melihat dampak positif maupun negative dari pemekaran daerah itu sendiri. Secara umum untuk melihat adanya perkembangan dari pemekaran daearah dapat di lihat dari 4 aspek yaitu :

a) kinerja perekonomian daerah;

b) kinerja keuangan daerah;

c) kinerja pelayanan publik; serta

d) kinerja aparatur pemerintah daerah

berdasarkan beberapa hasil evaluasi dari pemekaran daerah, dampak yang timbulkan lebih banyak negatifnya dari pada positifnya. Hal ini lagi-lagi bukan disebabkan oleh kebijakannya otonomi mengenai pemekaran daerah yang salah tetapi lebih kepada kinerja aparatur pemerintah yang terindikasi sesuai dengan aspek-aspek diatas. Terlebih lagi ditambah dengan beberapa contoh kasus yang menyatakan penolakan dari pemekaran daerah karena kecewa dengan kinerja aparatur pemerintah yang ditugaskan disana.

  1. b.   Saran

Beberapa saran yang mungkin bisa dijadikan masukan pelaksanaan  pemekaran daerah kedepannya :

  1. Benahi birokrasi yang ada, tupoksi setiap organisasi yang bergerak untuk pemekaran daerah benar-benar berjalan sesuai dengan yang diharapkan pada Undang Undang No. 22/1999.
  2. Persiapakan semua aparatur pemerintah yang akan terlibat dalam mewujudkan pemekaran daerah
  3. evaluasi yang ketat setiap pelaksanaan pemekaran daerah. Setelah beberapa tahun, lima tahun misalnya, kalau pemerintah daerah tidak mampu melayani kebutuhan dasar masyarakat, dia harus bergabung dengan daerah induknya kembali, atau dengan tetangganya


DAFTAR PUSTAKA

 

Hasibuan, Albert. 2002. Otonomi Daerah Peluang dan Tantangan. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan

Mardiasmo, MBA.dkk. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta : Andi

Syarifin, Pipin. 2005. Pemerintah daerah di Indonesia. Bandung : Pustaka Setia

Wasistiono, Sado. 2003. Kapita selekta manajemen Pemerintah. Bandung : Focus Media

Widodo, Joko. 2001.Good Governance.Surabaya : Insan Cendikia

 

Darmawan. 2008. Jurnal penelitian : Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah 2001-

                                 2007. BAPPENAS

www. http// : Pemekaran daerah dan kesejahteraan masyarakat.htm. diakses tanggal 3

desember 2011

republikaonline-pemekaranwilayah.htm. diakses tanggal 3 desember 2011

HarianSeputarIndonesia_Sumber_Referensi Terpercaya.htm. diakses 3 desember 2011

 

 

 

 

 


Categories: Uncategorized | Tinggalkan komentar

kaligrafi islam dekorasi

kaligrafi islam dekorasi

Categories: Uncategorized | Tinggalkan komentar

Hello world!

Welcome to WordPress.com. After you read this, you should delete and write your own post, with a new title above. Or hit Add New on the left (of the admin dashboard) to start a fresh post.

Here are some suggestions for your first post.

  1. You can find new ideas for what to blog about by reading the Daily Post.
  2. Add PressThis to your browser. It creates a new blog post for you about any interesting  page you read on the web.
  3. Make some changes to this page, and then hit preview on the right. You can always preview any post or edit it before you share it to the world.
Categories: Uncategorized | 1 Komentar

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.